TUGAS AKHIR 1
INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Matakuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit,
M.A
Disusun oleh:
Nisrina
Fauziyyah Puad 213092510002
PROGRAM
STUDI S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2021
ABSTRAK
Inovasi dalam proses pembelajaran matematika sangat diperlukan dengan tujuan supaya pembelajaran matematika menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Salah satu cara inovasi pembelajaran matematika adalah dengan mengembangkan pembelajaran matematika yang berbasis etnomatematika. Etnomatematika merupakan ilmu yang mengadaptasi budaya masyarakat dalam pembelajaran matematika dengan tujuan untuk mempermudah proses pemahaman oleh siswa karena mengubah persepsi yang abstrak terhadap matematika menjadi lebih konkret, oleh karena itu di wilayah Jawa Barat ada salah satu etnik masyarakat yang masih terjaga akan budaya nenek moyangnya. Inovasi pembelajaran etnomatematika di Kampung Naga meliputi keterampilan mengembangakan etnomatematika sebagai sumber pembelajaran matematika di sekolah.
Kata kunci: inovasi; pendidikan matematika; etnomatematika; kampung naga.
INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS BUDAYA
A.
PENDAHULUAN
Inovasi dalam proses pembelajaran
matematika sangat diperlukan dengan tujuan supaya pembelajaran matematika
menjadi lebih menarik dan menyenang. Dalam pembelajran matematika di sekolah,
guru seharusnya bisa memanfaatkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dari
kehidupan di lingkungan bermasyarakat. Marsigit (2018) hal-hal yang konkret dan
berhubungan dengan pengalaman siswa sehari-hari dapat dijadikan sebagai sumber
belajar yang menarik. Salah satu aspek yang dapat dikembangkan untuk inovasi
pembelajaran tersebut adalah budaya lokal setempat.
Matematika dipercaya oleh
masyarakat sebagai ilmu yang sulit dan tidak ada manfaatnya untuk kehidupan
sehari-hari. Padahal, setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia ada
kaitannya dengan matematika dan tidak bisa terpisahkan dengan perkembangan peradaban
manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Akib (2016) bahwa matematika menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari perkembagan peradaban umat manusia. Dari
penjelasan ini, matematika menjadi bagian penting adanya dalam kurikulum
pendidikan di Indonesia.
Septianawati
(2019) menyebutkan bahwa aktivitas manusia yang selalu berkaitan dengan
matematika, diantaranya: (1) membilang; (2) mengukur; (3) merancang; dan (4)
bermain. Manusia melakukan aktivitas yang berkaitan dengan matematika sudah
dari zaman dulu, sehingga secara tidak langsung manusia yang hidup di zaman
dulu telah mengenal matematika dalam kehidupannya. Zaenuri (2018) menyatakan
bahwa hal ini terlihat dari peninggalan-peninggalan nenek moyang yang ada di
Indonesia, seperti Mesjid Agung Jawa Tengah, Gereja Blenduk, Klenteng Sam Poo
Kang, Lawang Sewu, dan Tugu Muda. Bangunan-bangunan peninggalan nenek moyang
ini dapat digunakan untuk sarana pembelajaran matematika karena berkaitan
dengan konsep-konsep matematika, seperti: bangun datar, bangun ruang, himpunan,
simetri, statistka, aritmetika sosial, dan trigonometri.
Studi
yang mengkaji ide matematika dalam aktivitas budaya disebut dengan etnomatematics. Ethnomathematics relatif baru sebagai bidang penelitian dalam
pendidikan matematika. Sebagai pandangan matematika sebagai "budaya
bebas" dan "universal" telah lebih cepat muncul dalam kurikulum,
sedangkan ethnomathematics muncul relatif terlambat. Prestasi pendidikan
matematika Indonesia di dunia Internasional selalu di urutan terendah daripada
negara-negara lain. Ini disebabkan kurikulum Indonesia masih eurosentris,
sehingga dianggap kurang cocok dengan dengan budaya dan karakter siswa
Indonesia. Bangsa-bangsa seperti Jepang, Korea, Cina dan bangsa-bangsa Tiongkok
lainnya telah lama menggunakan budaya mereka dalam pembelajaran matematika.
Sehingga mereka dapat maju pesat dalam segala bidang. Keberhasilan negara
Jepang dan Tionghoa dalam pembelajaran matematika karena mereka menggunakan
Etnomatematika dalam pembelajaran matematikanya (Kurumeh, 2004).
Indonesia
memiliki banyak suku dan etnik, beberapa diantaranya masih memegang teguh
kebudayaan dan kepercayaan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka tanpa
adanya pengaruh dari budaya luar. Salah satu masyarakat etnik yang masih ada
adalah masyarakat penduduk Kampung Naga. Kampung Naga merupakan sebuah kampung
adat yang masih lestari akan kebudayaannya karena masyarakatnya memegang teguh
tradisi yang diturunkan oleh nenek
moyang mereka. Penduduk Kampung Naga menolak intervensi dari pihak luar jika
hal itu mencampuri dan merusak kelestarian di Kampung Naga.
Kampung
Naga berada di lembah yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Tata letak rumah dan arsitektur
yang khas dan masih mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga
sejak zaman dulu. Sebelah selatan Kampung Naga dibatasi oelh sawah-sawah
penduduk dan sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang
bersumber airnya berasal dari gunung Cikuray di daerah Garut. Pengujung yang
ingin masuk ke Kampung Naga harus melewati 439 anak tangga.
Gambar 1. Lembah Kampung Naga
Rumah masyarakat
Kampung Naga berbentuk rumah panggung, bahan rumahnya terbuat dari bambu dan
kayu, atap rumahnya dari bahan ijuk pohon aren, lantainya terbuat dari bambu
atau papan kayu, dan dinding rumahnya terbuat dari bilik (anyaman bambu dengan
anyaman sasag). Ada banyak aturan dalam membuat rumah di Kampung Naga,
diantaranya: (1) rumah yang berada di Kampung Naga tidak boleh di cat, hanya
boleh menggunakan kapur (dimeni) untuk memberikan warna pada dinding rumah; (2)
bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok; (3) rumah harus menghadap ke utara
atau ke selatan dengan memanjang kearah barat/timur. Selain aturan-aturan yang ada,
masyarakat Kampung Naga mempercayai bahwa adanya kekuatan-kekuatan yang menguasai
ruangan atau tempat tertentu. Diantaranya batas sungai, batas pekarangan rumah
dengan jalan, batas antara sawah dengan selokan, batas perkampungan dengan
hutan, dan batas tempat air mulai masuk yang sering disebut dengan huluweton.
Kekuatan-kekuatan yang mendiami batas-batas tersebut berupa makhluk-makhluk
halus dan dianggap angker atau sanget.
Mayoritas mata
pencaharian warga Kampung Naga adalah bertani di sawah dan di ladang, mereka
menanam padi, palawija, beternak ikan di kolam atau menangkap ikan di sungai.
Mereka juga memanfaatkan sumber daya alam untuk membuat kerajinan tangan dari
bahan bambu, kayu, dan rotan. Peralatan yang digunakan oleh masyarakat Kampung
Naga masih sederhana dan berasal dari alam. Seperti untuk memasak masih
menggunakan tungku dengan kayu bakar, membajak sawah masih menggunakan tenaga
kerbau dan cangkul. Selain tidak menggunakan teknologi yang berkembang di
masyarakat, masyarakat Kampung Naga belum menerima adanya listrik karena masih
mempertahankan adat leluhurnya.
Oleh karena itu,
masyarakat Kampung Naga ketinggalan dalam hal-hal yang mendunia atau
mengglobal. Termasuk dalam cara mengukur dan mrmbilang benda, mereka
menggunakan istilah-istilah ukuran dan bilangan peninggalan nenek moyang
mereka.
Rumah masyarakat
Kampung Naga berbentuk rumah panggung, bahan rumahnya terbuat dari bambu dan
kayu, atap rumahnya dari bahan ijuk pohon aren, lantainya terbuat dari bambu
atau papan kayu, dan dinding rumahnya terbuat dari bilik (anyaman bambu dengan
anyaman sasag). Ada banyak aturan dalam membuat rumah di Kampung Naga,
diantaranya: (1) rumah yang berada di Kampung Naga tidak boleh di cat, hanya
boleh menggunakan kapur (dimeni) untuk memberikan warna pada dinding rumah; (2)
bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok; (3) rumah harus menghadap ke utara
atau ke selatan dengan memanjang kearah barat/timur. Selain aturan-aturan yang
ada, masyarakat Kampung Naga mempercayai bahwa adanya kekuatan-kekuatan yang
menguasai ruangan atau tempat tertentu. Diantaranya batas sungai, batas
pekarangan rumah dengan jalan, batas antara sawah dengan selokan, batas
perkampungan dengan hutan, dan batas tempat air mulai masuk yang sering disebut
dengan huluweton. Kekuatan-kekuatan yang mendiami batas-batas tersebut berupa
makhluk-makhluk halus dan dianggap angker atau sanget.
Mayoritas mata
pencaharian warga Kampung Naga adalah bertani di sawah dan di ladang, mereka
menanam padi, palawija, beternak ikan di kolam atau menangkap ikan di sungai.
Mereka juga memanfaatkan sumber daya alam untuk membuat kerajinan tangan dari
bahan bambu, kayu, dan rotan. Peralatan yang digunakan oleh masyarakat Kampung
Naga masih sederhana dan berasal dari alam. Seperti untuk memasak masih
menggunakan tungku dengan kayu bakar, membajak sawah masih menggunakan tenaga
kerbau dan cangkul. Selain tidak menggunakan teknologi yang berkembang di
masyarakat, masyarakat Kampung Naga belum menerima adanya listrik karena masih
mempertahankan adat leluhurnya.
Oleh karena itu, masyarakat Kampung Naga ketinggalan dalam hal-hal yang mendunia atau mengglobal. Termasuk dalam cara mengukur dan mrmbilang benda, mereka menggunakan istilah-istilah ukuran dan bilangan peninggalan nenek moyang mereka.
B.
KAJIAN
PUSTAKA
1.
Definisi
Etnomatematics
Borba (1997)
menyebutkan ethnomatematics berasal
dari kata “ethno” yang dipahami
sebagai kelompok budaya (cultural groups)
dan “mathematics” yang dianggap
sebagai seperangkat aktivitas seperti mengukur, mengelompokkan, mengurutkan,
menyimpulkan, dan memodelkan. Ethnomathematics Merupakan bidang
interdispliner yang meliputi antropologi budaya matematika, pendidikan
matematika dan kognisi matematika (Matang, 2006). Ethnomathematics merupakan
irisan dari tiga himpunan disiplin ilmu: matematika, antropologi budaya dan
pemodelan model matematika (Rosa & Orey, 2006).
Marsigit (2016)
mengatakan bahwa etnomatematika adalah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami
bagaimana matematika diadaptasi dari sebuah budaya dan berfungsi untuk
mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika. Pembelajaran etnomatika
di sekolah dilakukan dengan mengubah persepsi siswa yang beranggapan matematika
abstrak menjadi lebih konkret dan mudah dipahami. Objek kajian etnomatematika
yang digunakan adalah kebudayaan di sekitar tempat tinggal peserta didik dan
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pendapat
tersebut, maka ethnomathematics adalah
ilmu yang mengadaptasi budaya masyarakat dalam pembelajaran matematika dengan
tujuan untuk mempermudah proses pemahaman oleh siswa karena mengubah persepsi
yang abstrak terhadap matematika menjadi lebih konkret.
1.
Pembelajaran
Berbasis Budaya (Etnomatematics)
Pembelajaran ethnomathematics sangat dipengaruhi oleh
teori konstruktivisme, pengetahuan dikonstruksi secara sosial sehingga belajar
merupakan tanggung jawab bersama antara guru dan siswa di kelas. Perspektif
pembelajaran konstruktivis meliputi: 1) pembangunan pengetahuan individu, 2)
pengaruh sosial terhadap konstruksi individu, 3) situasional dan persyaratan
konstruksi pengetahuan konstektual dan 4) konstruksi sosial dari realitas
(Chemark dan Van der Merwe dalam Matang, 2006). Rosa & Orey (2007)
berpendapat bahwa kurikulum matematika harus didasarkan pada sebuah pendekatan
konstruktivis untuk belajar dan berusaha untuk mengubah cara guru matematika membangun
lingkungan belajar.
Pembelajaran
ethnomathematics dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang
budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui budaya (Goldberg dalam
Supriadi (2015). (1) Belajar tentang budaya, menempatkan budaya sebagai bidang
ilmu. Proses belajar tentang budaya sudah dipelajari secara langsung oleh siswa
melalui mata pelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni, sastra, melukis,
serta menggambar. Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khususnya tentang
budaya untuk budaya. Produk budaya yang berlaku dalam sebuah masyarakat dapat
digunakan menjadi sebuah metode dalam pemecahan masalah matematika yang akan
dilakukan oleh siswa dalam pembelajran matematika; (2) Belajar
dengan budaya. Belajar dengan budaya bagi siswa meliputi pemanfaatan beragam
bentuk perwujudan budaya. Budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran
atau konteks dalam proses belajar di kelas; (3) Belajar melalui budaya bagi
siswa yaitu dengan memberikan kesempatan untuk menunjukkan pencapaian pemahaman
atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan
budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk multiple representation of learning assessment atau bentuk
penilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Dengan menganalisis produk budaya yang
diwujudkan siswa, guru dapat menilai sejauh mana produk budaya yang diwujudkan
siswa, guru dapat menilai sejauhmana siswa memperoleh pemahaman dalam sebuah
topik mata pelajaran matematika. Belajar melalui budaya memungkinkan siswa
untuk memperhatikan kedalaman pemikirannya, penjiwaannya terhadap konsep atau
prinsip yang dipelajari (Sardjiyo & Pannen, 2005).
Marsigit (2018)
mendeskripsikan bahwa etnomatematika hanyalah relevan untuk pembelajaran
matematika dengan ranah Matematika Sekolah, dan mendeskripsikan temuan sbb:
a. Pembelajaran
Matematika Berbasis Etnomatematika Selaras Dengan Hakikat Matematika Sekolah
1) Matematika
sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan.
2) Matematika
sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi.
3) Matematika
sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem
solving).
4) Matematika
sebagai alat berkomunikasi
b. Pembelajaran
Matematika Berbasis Etnomatematika Selaras dengan Hakikat Siswa Belajar
Matematika
Ebbutt dan
Straker (dalam Marsigit, 2018) memberikan pandangannya bahwa agar potensi siswa
dapat dikembangkan secara optimal, maka asumsi dan implikasi berikut dapat
dijadikan sebagai referensi :
1) Murid
akan belajar jika mendapat motivasi.
2) Cara
belajar siswa bersifat unik.
3) Siswa
belajar matematika melalui kerjasama.
4) Murid
memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam belajarnya.
C.
EKSPLORASI
KEARIFAN LOKAL DAN MATEMATIKA DI KAMPUNG NAGA
1.
Membilang
Masyarakat Kampung Naga
sering kali melakukan kegiatan membilang dalam kehidupan sehari-harinya,
misalnya pada saat pembuatan kerajinan tangan dari anyaman bambu, misalnya dari
saat membilang banyaknya bilah bambu yang akan digunakan untuk membuat anyaman
sampai pada proses membilang hasil kerajian tangan. Bahasa sehari-hari yang
digunakan oleh masyarakat Kampung Naga adalah menggunakan bahasa Sunda, karena
masih terletak di wilayah dataran Sunda. Pengucapan bilangan untuk menunjukkan
jumlah barang yang digunakan masyarakat Kampung Naga seperti pada tabel 1
berikut.
Tabel
1. Penyebutan Bilangan pada Masyarakat Kampung Naga
Simbol |
Sebutan Bilangan oleh
Masyarakat Kampung Naga |
Sebutan Hindu-Arab |
1 |
Hiji |
Satu |
2 |
Dua |
Dua |
3 |
Tilu |
Tiga |
4 |
Opat |
Empat
|
5 |
Lima |
Lima |
6 |
Genep |
Enam |
7 |
Tujuh |
Tujuh |
8 |
Dalapan |
Delapan |
9 |
Salapan |
Sembilan |
10 |
Sapuluh |
Sepuluh |
11 |
Sabelas |
Sebelas |
12 |
Salosin/
dua belas |
Dua
belas |
13 |
Tilu
belas |
Tiga
belas |
… |
… |
… |
20 |
Sakodi/
dua puluh |
Dua
puluh |
21 |
Salikur/
dua puluh hiji |
Dua
puluh satu |
22 |
Dua
likur/ dua puluh dua |
Dua
puluh dua |
23 |
Tilu
likur/ dua puluh tilu |
Dua
puluh tiga |
24 |
Opat
likur/ dua puluh opat |
Dua
puluh empat |
25 |
Salawe |
Dua
puluh lima |
26 |
Dua
puluh genep |
Dua
puluh enam |
… |
… |
… |
30 |
Tilu
puluh |
Tiga
puluh |
40 |
opat
puluh |
Empat
puluh |
50 |
Lima
puluh |
Lima
puluh |
60 |
genep
puluh |
Enam
puluh |
… |
… |
… |
100 |
Saratus |
Seratus |
Aktivitas membilang
juga terlihat dalam penyebutan bilangan yang digunakan oleh masyarakat Kampung
Naga untuk menunjukkan jumlah:
a.
Menunjukkan jumlah ikan
1) Sawidak = 60
2) Sagros = 144
3) Salaksa = 10.000
4) Salaketi = 100.000
5) Sayuta = 1.000.000
b.
Menunjukkan jumlah barang tertentu
1)
Saleunjeur = Satu buah pohon bambu
2)
Sabebek =
Satu belahan bambu yang dibelah menjadi 2 bagian
3)
Sadapur =
Jumlah beberapa pohon bambu yang saling berdekatan
4)
Sacangi =
Satu cangkir padi
5)
Sacanggeum = Banyaknya beras dalam satu kepalan tangan
6)
Sailab =
Satu lembar anyaman bilik (dinding rumah)
7)
Sakeclak =
Satu tetes air
8)
Sasikat =
Satu sisir buah pisang
9)
Saturuy =
Satu runtuyan pisang
10) Sapapan = Satu buah pete
11) Sahanggor = Beberpa buah pete dalam 1 runtuyan
12) Saempong = Beberapa hanggor buah pete
13) Sapiring = Satu piring nasi
14) Saponggol = Satu dahan daun pisang
15) Sakompet = Beberapa lembar daun pisang yang sudah
disobek dari dahnnya kebudian dilipat menjadi satu ikatan.
16) Sajalon = Satu lembar anyaman daun aren yang
diikat oleh helaian bambu untuk dijadikan atap. Biasanya digunakan untuk atap
toilet oleh masyarakat Kampung Naga.
17) Sagandu = Satu buah gula merah
18) Sakakab = Satu lembar anyaman injuk dari pohon
aren
19) Sarempang = Satu butir jahe
20) Sahulu = Satu buah kelapa
21) Saluwuk
Munding = Dua ekor kerbau
22) Sakotak =
Satu petak sawah
23) Salambar =
Satu lembar
24) Saranggeuy =
Satu tangkai padi
25) Saheulay =
Satu lembar tikar
26) Sahurun
=
Satu ikat beberapa kayu
27) Sahuntu =
Garam padat kira-kira berukuran sebesar gigi
28) Sarakit =
2 kerbau, biasanya digunakan untuk membajak sawah
Masyarakat Kampung Naga
biasanya melakukan perhitungan hari dengan sangat hari dengan sangat cepat,
misalnya untuk mennetukan hari ke-30, 40 harian, 100 harian, dan 1000
harian. Misalnya, jika hari ini adalah
hari Rabu kemudian akan ditentukan 40 hari kedepannya pada hari apa, maka
masyarakat Kampung Naga akan dengan cepat menjawab 40 hari kedepannya jatuh
pada hari Minggu. Cara perhitungan penentuan 40 harian menurut masyarakat
Kampung Naga, sebagai berikut:
Rabu-rabu,
Kamis, Jum’at
Sabtu-sabtu,
Minggu, Senin
Selasa-selasa,
Rabu, Kamis
Jum’at-jum’at,
Sabtu, Minggu
Jadi, 40 hariannya jatuh pada hari Minggu.
Ternyata perhitungan
cepat yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga sesuai dengan pendekatan
model sebagai berikut:
Misalkan, dicari hari
ke-a, maka penentuan hari mingguan dapat menggunakan
aturan modulo 7.
atau
b adalah sisa hasil bagi yang
dipasangkan dengan masing-masing hari mingguan bisa dalam satu minggu, yaitu:
Hari
pertama acuan = 1;
Hari
kedua acuan = 2;
Hari ketiga acuan =
3;
Hari keempat acuan =
4;
Hari kelima acuan =
5;
Hari keenam acuan =
6;
Hari ketujuh acuan =
0;
Dari
kasus sebelumnya, jika hari ini adalah hari Rabu, maka 40 hariannya ditentukkan
dengan menghitung atau
sehingga
. Karena hari Rabu
sebagai hari pertaman acuan, maka
hari Minggu.
2.
Mengukur
Penngukuran yang
dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada zaman dulu menggunakan alat-alat
ukur yang tidak baku, seperti pengggunaan anggota badan misalnya tangan dan
kaki. Selain itu, mereka juga memanfaatkan barang-barang yang ada di sekitar
seperti tombak dan tali. Namun pada saat ini masyarakat Kampung Naga telah
meggunakan alat ukur yang sudah baku dan berlaku di masyarakat hanya pada
kegiatan komersil untuk bisnis jual beli. Dalam kegiatan non-komersil
masyarakat Kampung Naga masih menggunakan alat ukurnya sendiri, misalnya pada
saat menakar beras tidak menggunakan literan tapi menggunakan wadah yang
berbentuk seperti mangkok dan terbuat dari tempurung kelapa. Ukurannya
dipercaya oleh masyarakat kampung naga setara dengan takaran satu liter.
Gambar 2. Alat Ukur Beras
Masyarakat di Kampung Naga
Kegiatan mengukur
lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga bisa diamati pada saat
melakukan pembangunan rumah, biasanya masyarakat Kampung Naga menggunakan
meteran untuk mengukur berapa panjang dari papan, tiang, jendela, pintu, dan
lain sebagainya. Namun sering kali mereka juga memanfaatkan anggota badan yang
mereka miliki karena dianggap lebih sederhana dan praktis, misalnya penggunaan jeungkal dan deupa. Satu jeungkal yaitu
jarak dari ujung ibu jari ke ujung jari kelingking atau dari ujung ibu jari
sampai ke ujung jari tegah ketika direntangkan. Septianawati (2017) menyatakan
bahwa ukuran satu jeungkal masyarakat
kampung naga kuarmg lebih sama dengan 20 cm. Biasanya alat ukur dengan
menggunakan anggota tubuh digunakan pada saat masyarakat Kampung Naga pergi ke
kebun, sawah, atauoun hutan dan tidak membawa alat ukur meteran mereka akan
menggunakannya untuk menentukan panjang yang mereka inginkan. Misalnya pada
saat membutuhkan bambu yang berukuran 80 cm, maka mereka akan membuat ukuran
sebesar 4 jeungkal dengan tangan
mereka dan bambu yang telah diukur akan dijadikan sebagai patokan untuk
menentukan panjang bambu lainnya.
Aktivitas mengukur juga
terlihat dalam ukuran berat dan banyaknya padi, yaitu:
1)
Saranggeuy = Satu tangkai padi
2)
Sapocong =
Ukuran padi yang masih ada tangakainya kira-kira satu kepalan tangan
3)
Sapikul =
Ukuran padi yang sudah dibuang tangkainya kira-kira 62,5 kg (100 kati)
Selain aktivitas di
atas, ada juga untuk mengukur panjang dan luas, yaitu:
1)
Satumbak =
3,77 meter
2)
Sabata =
14 meter2
3)
Sapal =
1 kilometer
4)
Samil =
1,5 kilometer
5)
Saare =
100 meter2
6)
Sahektar =
100 are
7)
Sabau =
500 bata
8)
Sakaki =
0,3 meter = 30 cm
9)
Saelo =
0,988 meter
10) Sadim = Setapak ibu jari
11)
Sajeungkal = Jarak paling panjang antara ujung jempol tangan dengan ujung kelingking
tangan, yang panjangnya kurang lebih 20 cm
12)
Sahasta =
Ukuran sepanjang lengan
bawah dari siku sampai ke ujung jari tengah. Biasanya berkisar
13)
Sadeupa =
Ukuran sepanjang kedua
belah tangan mengendap dari ujung jari tengah kanan sampai ke ujung jari tengah
kiri. (4 hasta = 6 kaki). Depa digunakan dalam menyatakan ukuran keliling
sebuah rumah di kampung naga atau sebuah kolam ikan.
14) Sakodok = Panjang dari ujung jari tengah
sampai ketiak
15) Sakodok = Panjang dari ujung jari tengah
sampai ke ketiak
16)
Sajeujeuh = Panjang telapak kaki dari ujung-ujung jari kaki
sampai ujung tumit.
3.
Merancang
Masyarakat Kampung Naga mampu membangun rumah untuk tempat tinggal mereka sendiri sesuai dengan rancangan yang telah ditetapkan oleh adatnya dan mampu membuat perkakas untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Bangunan yang dibuat tahan akan gempa bumi, dan hanya menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam.
Dalam kegiatan
merancang bangunan menggunakan konsep matematis terutama dalam membilang dan
mengukur. Masyarakat Kampung Naga memperoleh kemampuan merancang bangunan dari
nenek moyang mereka. Sebelum mulai membangun rumah, mereka merancang dengan
membuat sketsa dan menghitung ketepatan ukurannya. Dalam proses perancangan
rumah, yang harus ditentukan adalah banyaknya tiang, kaso, dan lantai yang akan
digunakan pada rumah tersebut. Misalnya dalam rumah yang berukuran , maka jumlah tiang
yang dibutuhkan pada rumah tersebut adalah 14 buah. Bangunan rumah yang dibangun
berbentuk panggung serta menggunakan batu papas yang ditanam untuk kakinya.
Jumlah minimal batu papas yang diperlukan dalam membangun sebuah rumah adalah
25 buah dengan ukuran sekitar 50-70 cm.
Gambar
3. Rumah Adat Kampung Naga
4.
Aktivitas
Bermain Tradisional
Dalam permainan tradisional yang sering dimainkan oleh anak-anak di Kampung Naga terdapat ide-ide matematis yang tidak disadari membantu mengembangkan pola pikir dalam permainannya. Jenis permainan yang dilakukan oleh anak-anak di Kampung naga, antara lain: gobag, gatrik, pecle, gampar, eser, kaleci, dan baren. Ide-ide matematis yang terdapat pada permainan-permainan tradisional, misalnya: membilang, mengelompokkan bilangan, melakukan pengukuran dengan menggunakan tangan, dan memikirkan strategi untuk memenangkan permainannya.
Pada zaman dulu, permainan sering dijadikan sebagai media pembelajaran untuk menyampaikan suatu materi pelajaran kepada anak-anak. Seharusnya permaian-permainan tradisional yang ada di Kampung Naga pada saat ini dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mengemas pembelajaran matematika yang diharapkan menjadi pelajaran yang menarik di mata siswa. Permainan tradisional yang ada di masyarakat Kampung Naga, diantaranya: gobag, pecle, ucing sumput, dan congklak.
A.
INOVASI
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS BUDAYA DI KAMPUNG NAGA
No |
Objek
Etnomatematika |
Hasil
Identifikasi |
|||||||||
1 |
Lokasi: Tangga menuju Kampung Naga Gambar 1 |
a. Objek
etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran dua garis sejajar
(Materi matematika SMP kelas VII) b. Kompetensi
dasar: 3.10 Menganalisis hubungan antar sudut sebagai
akibat dua garis sejajar yang dipotong oleh garis transversal Perhatikan susunan batu pada Gambar 1. “Jika dua buah anak tangga yang berdekatan merupakan dua buah garis (garis 𝑚 dan garis 𝑚), menurut kalian bagaimanakah kedudukan dua garis tersebut?” Petunjuk: Pilihlah anak tangga yang paling dekat
dengan garis 𝑚,
kemudian lukis garis 𝑚
pada anak tangga tersebut. Tujuan: Berdasarkan masalah tersebut, siswa akan menemukan bahwa kedudukan dua garis tersebut adalah dua garis sejajar. Hal ini dikarenakan garis 𝑚 dan garis 𝑚 merupakan dua garis yang terletak pada satu bidang datar dan tidak akan bertemu atau perpotongan jika garis tersebut diperpanjang sampai tak berhingga. |
|||||||||
2 |
Bangunan
Rumah Masyarakat Kampung Naga Gambar 2 |
a. Objek
etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran segitiga (Materi
matematika SMP kelas VII) b. Kompetensi
dasar: 3.11 Mengaitkan rumus keliling dan luas untuk
berbagai jenis segiempat (persegi, persegi panjang, belah-ketupat,
jajargenjang, trapesium, dan layang-layang) dan segitiga Segitiga pada Gambar 2 dapat
dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi segitiga sama kaki. Segitiga sama kaki adalah segitiga
yang memiliki dua buah sisi sama panjang. Sifat segitiga sama kaki: 1) Memiliki sepasang sisi sama
panjang. 2) Memiliki sepasang sudut yang sama
besar. 3) Memiliki satu sumbu simetri |
|||||||||
3 |
Anyaman
Dinding Rumah Masyarakat Kampung Naga Gambar 3 |
a. Objek
etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran persegi (Materi
matematika SMP kelas VII) b. Kompetensi
dasar: 3.11 Mengaitkan rumus keliling dan luas untuk
berbagai jenis segiempat (persegi, persegi panjang, belah-ketupat,
jajargenjang, trapesium, dan layang-layang) dan segitiga Persegi pada Gambar 3 dapat
dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi segiempat: persegi.
|
|||||||||
4 |
Alat
Ukur Beras Masyarakat Kampung Naga Gambar 4 |
a. Objek
etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran bangun ruang sisi
lengkung: bola => b. Kompetensi
dasar: 3.7 Membuat generalisasi luas permukaan dan volume
bangun ruang sisi lengkung (tabung, kerucut, dan bola)
|
|||||||||
5 |
Permainan
Tradisional Masyarakat Kampung Naga
Gambar 6 Pecle
Gamabr 7 Ucing Sumput
Gambar 8 Congklak |
a. Objek
etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran persegi panjang (Materi
matematika SMP kelas VII) b. Kompetensi
dasar: 3.11 Mengaitkan rumus keliling dan luas untuk
berbagai jenis segiempat (persegi, persegi panjang, belah-ketupat,
jajargenjang, trapesium, dan layang-layang) dan segitiga Persegi panjang pada Gambar 5 dapat
dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi segiempat: persegi panjang.
a. Objek
etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran persegi panjang (Materi
matematika SMP kelas VII) dan lingkaran (Materi matematika SMP kelas VIII) b. Kompetensi
dasar: 3.11 Mengaitkan rumus keliling dan luas untuk
berbagai jenis segiempat (persegi, persegi panjang, belah-ketupat,
jajargenjang, trapesium, dan layang-layang) dan segitiga 3.7 Menurunkan rumus untuk menentukan rumus keliling dan luas lingkaran yang dihubungkan dengan masalah kotekstual Persegi panjang pada Gambar 6 dapat
dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi segiempat: persegi panjang. Setengah lingkaran pada Gambar 6 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi lingkaran.
a. Objek
etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran Bilangan Bulat (Materi
matematika SMP kelas VII) b. Kompetensi
dasar: 3.1 Menjelaskan dan menentukan urutan pada
bilangan bulat (positif dan negatif) dan pecahan (biasa, campuran, desimal,
persen) Perhitungan dalam permainan ucing sumput pada Gambar 7 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi bilangan bulat. Anak yang bertugas sebagai penjaga harus menghitung dari 1 sampai bilangan yang telah disepakati untuk memberikan jeda waktu bersembunyi kepada temannya 1 - 2 - 3 - 4 - 5 - 6 - 7 - 8 - 9 - ...
a. Objek
etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran Bilangan Bulat (Materi
matematika SMP kelas VII) b. Kompetensi
dasar: 3.2 Menjelaskan dan melakukan operasi hitung
bilangan bulat dan pecahan dengan memanfaatkan berbagai sifat operasi
Permainan congklak pada Gambar 8 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi bilangan bulat. Anak yang yang melakukan permainan ini secara tidak sadar telah belajar konsep pembagian. |
DAFTAR PUSTAKA
Akib, R. (2016). “Matematika dan Nilai-nilai
Kearifan Lokal (Suatu Alternatif Pendidikan Karakter melalui Matematika dan
Nilai-nilai Kearifan Lokal Budaya Bugis – Makassar)”.
Borba, M.C. (1997). Ethnomathematics and Education.
Dalam A.B. Powell & M. Frankenstein (Penyunting), Ethnomathematics
Challenging Eurocentrism in Mathematics Education (hlm. 261-272). Albany: State
University of New York.
Kurumeh. (2004). Effects of ethnomathematics
teaching approach on students achievement and interest in geometry and
mensuration. Unpublished Ph.D Thesis.
University of Nigeria, Nsukka.
Matang, R. A. (2006). Linking ethnomathematics, situated cognition, social constructivisme
and mathematics education: An example from Papua New Guinea. ICME-3 Conference
Paper, New Zealand.
Marsigit. (2016). Pengembangan Pembelajaran
Matematika Berbasis Etnomatematika. Makalah
dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Budaya 2016, dengan Tema: Etnomatematika, Matematika dalam Perspektif Sosial
dan Budaya. Sumatra Barat. Indonesia.
Marsigit. (2018). Pengembangan
Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika Etnomatnesia
“Etnomatematika dari Budaya Indonesia” Program Studi Pendidikan Matematika
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Yogyakarta, Indonesia.
Rosa, M., & Orey, D. C. (2006). Abordagens atuais
do parogram aetnomatemática: delinenandose um caminho para aação pedagógica
[current approaches in the ethnomathematics as a program: delineating a path toward
pedagogical action]. Bolema, 19(26),
pp. 19-48.
Rosa, M., & Orey, D. C. (2007). Cultural assertions
and challenges towards pedagogical action of an ethnomathematics program. For the Learning of Mathematics, 27(1),
pp. 10-16.
Sardjiyo & Pannen. (2005). Pembelajaran berbasis
budaya: model inovasi pembelajaran dan implementasi KBK. Jurnal Pendidikan.
Septianawati, T. (2017). Ethnomathematics Study: Uncovering
Units of Length, Area, and Volume in Kampung Naga Society. Journal of Physics:
Conference Series, 812(1), 1-7.
Septianawati, T. dkk. (2019). Kajian Etnomatematika:
Mengungkap Kearifan Lokal Budaya dan Matematika Kampung Naga. Jurnal Pendidikan
Matematika (METATIKA): Vol 1(1): 63-79.
Supriadi, Arisetyawan, A., dan Tiurlina. (2015). Mengintegrasikan
Pembelajaran Matematika Berbasis Budaya Banten Pada Pendirian SD Laboratorium
UPI Kampus Serang. Mimbar Sekolah Dasar,
Vol 3(1) 2016, 1-18.
Zaenuri dan Dwiyanti, N. (2018). Menggali
Etnomatematika: Matematika sebagai Produk Budaya. Prisma, 1, 471-476. UPI:
Tidak Diterbitkan.
No comments:
Post a Comment