Tuesday, December 7, 2021

TUGAS AKHIR 1 - INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

 

TUGAS AKHIR 1

INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA 

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A

 




Disusun oleh:

                                    Nisrina Fauziyyah Puad                      213092510002

 

 

PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2021


ABSTRAK

Inovasi dalam proses pembelajaran matematika sangat diperlukan dengan tujuan supaya pembelajaran matematika menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Salah satu cara inovasi pembelajaran matematika adalah dengan mengembangkan pembelajaran matematika yang berbasis etnomatematika. Etnomatematika merupakan ilmu yang mengadaptasi budaya masyarakat dalam pembelajaran matematika dengan tujuan untuk mempermudah proses pemahaman oleh siswa karena mengubah persepsi yang abstrak terhadap matematika menjadi lebih konkret, oleh karena itu di wilayah Jawa Barat ada salah satu etnik masyarakat yang masih terjaga akan budaya nenek moyangnya. Inovasi pembelajaran etnomatematika di Kampung Naga meliputi keterampilan mengembangakan etnomatematika sebagai sumber pembelajaran matematika di sekolah.

Kata kunci: inovasi; pendidikan matematika; etnomatematika; kampung naga.

  INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS BUDAYA

 

A.      PENDAHULUAN

Inovasi dalam proses pembelajaran matematika sangat diperlukan dengan tujuan supaya pembelajaran matematika menjadi lebih menarik dan menyenang. Dalam pembelajran matematika di sekolah, guru seharusnya bisa memanfaatkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dari kehidupan di lingkungan bermasyarakat. Marsigit (2018) hal-hal yang konkret dan berhubungan dengan pengalaman siswa sehari-hari dapat dijadikan sebagai sumber belajar yang menarik. Salah satu aspek yang dapat dikembangkan untuk inovasi pembelajaran tersebut adalah budaya lokal setempat.

Matematika dipercaya oleh masyarakat sebagai ilmu yang sulit dan tidak ada manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia ada kaitannya dengan matematika dan tidak bisa terpisahkan dengan perkembangan peradaban manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Akib (2016) bahwa matematika menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perkembagan peradaban umat manusia. Dari penjelasan ini, matematika menjadi bagian penting adanya dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.

Septianawati (2019) menyebutkan bahwa aktivitas manusia yang selalu berkaitan dengan matematika, diantaranya: (1) membilang; (2) mengukur; (3) merancang; dan (4) bermain. Manusia melakukan aktivitas yang berkaitan dengan matematika sudah dari zaman dulu, sehingga secara tidak langsung manusia yang hidup di zaman dulu telah mengenal matematika dalam kehidupannya. Zaenuri (2018) menyatakan bahwa hal ini terlihat dari peninggalan-peninggalan nenek moyang yang ada di Indonesia, seperti Mesjid Agung Jawa Tengah, Gereja Blenduk, Klenteng Sam Poo Kang, Lawang Sewu, dan Tugu Muda. Bangunan-bangunan peninggalan nenek moyang ini dapat digunakan untuk sarana pembelajaran matematika karena berkaitan dengan konsep-konsep matematika, seperti: bangun datar, bangun ruang, himpunan, simetri, statistka, aritmetika sosial, dan trigonometri.

Studi yang mengkaji ide matematika dalam aktivitas budaya disebut dengan etnomatematics. Ethnomathematics relatif baru sebagai bidang penelitian dalam pendidikan matematika. Sebagai pandangan matematika sebagai "budaya bebas" dan "universal" telah lebih cepat muncul dalam kurikulum, sedangkan ethnomathematics muncul relatif terlambat. Prestasi pendidikan matematika Indonesia di dunia Internasional selalu di urutan terendah daripada negara-negara lain. Ini disebabkan kurikulum Indonesia masih eurosentris, sehingga dianggap kurang cocok dengan dengan budaya dan karakter siswa Indonesia. Bangsa-bangsa seperti Jepang, Korea, Cina dan bangsa-bangsa Tiongkok lainnya telah lama menggunakan budaya mereka dalam pembelajaran matematika. Sehingga mereka dapat maju pesat dalam segala bidang. Keberhasilan negara Jepang dan Tionghoa dalam pembelajaran matematika karena mereka menggunakan Etnomatematika dalam pembelajaran matematikanya (Kurumeh, 2004).

Indonesia memiliki banyak suku dan etnik, beberapa diantaranya masih memegang teguh kebudayaan dan kepercayaan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka tanpa adanya pengaruh dari budaya luar. Salah satu masyarakat etnik yang masih ada adalah masyarakat penduduk Kampung Naga. Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari akan kebudayaannya karena masyarakatnya memegang teguh tradisi  yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Penduduk Kampung Naga menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian di Kampung Naga.

Kampung Naga berada di lembah yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Tata letak rumah dan arsitektur yang khas dan masih mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga sejak zaman dulu. Sebelah selatan Kampung Naga dibatasi oelh sawah-sawah penduduk dan sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang bersumber airnya berasal dari gunung Cikuray di daerah Garut. Pengujung yang ingin masuk ke Kampung Naga harus melewati 439 anak tangga.

Gambar 1. Lembah Kampung Naga

Rumah masyarakat Kampung Naga berbentuk rumah panggung, bahan rumahnya terbuat dari bambu dan kayu, atap rumahnya dari bahan ijuk pohon aren, lantainya terbuat dari bambu atau papan kayu, dan dinding rumahnya terbuat dari bilik (anyaman bambu dengan anyaman sasag). Ada banyak aturan dalam membuat rumah di Kampung Naga, diantaranya: (1) rumah yang berada di Kampung Naga tidak boleh di cat, hanya boleh menggunakan kapur (dimeni) untuk memberikan warna pada dinding rumah; (2) bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok; (3) rumah harus menghadap ke utara atau ke selatan dengan memanjang kearah barat/timur. Selain aturan-aturan yang ada, masyarakat Kampung Naga mempercayai bahwa adanya kekuatan-kekuatan yang menguasai ruangan atau tempat tertentu. Diantaranya batas sungai, batas pekarangan rumah dengan jalan, batas antara sawah dengan selokan, batas perkampungan dengan hutan, dan batas tempat air mulai masuk yang sering disebut dengan huluweton. Kekuatan-kekuatan yang mendiami batas-batas tersebut berupa makhluk-makhluk halus dan dianggap angker atau sanget.

Mayoritas mata pencaharian warga Kampung Naga adalah bertani di sawah dan di ladang, mereka menanam padi, palawija, beternak ikan di kolam atau menangkap ikan di sungai. Mereka juga memanfaatkan sumber daya alam untuk membuat kerajinan tangan dari bahan bambu, kayu, dan rotan. Peralatan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga masih sederhana dan berasal dari alam. Seperti untuk memasak masih menggunakan tungku dengan kayu bakar, membajak sawah masih menggunakan tenaga kerbau dan cangkul. Selain tidak menggunakan teknologi yang berkembang di masyarakat, masyarakat Kampung Naga belum menerima adanya listrik karena masih mempertahankan adat leluhurnya.

Oleh karena itu, masyarakat Kampung Naga ketinggalan dalam hal-hal yang mendunia atau mengglobal. Termasuk dalam cara mengukur dan mrmbilang benda, mereka menggunakan istilah-istilah ukuran dan bilangan peninggalan nenek moyang mereka.


Rumah masyarakat Kampung Naga berbentuk rumah panggung, bahan rumahnya terbuat dari bambu dan kayu, atap rumahnya dari bahan ijuk pohon aren, lantainya terbuat dari bambu atau papan kayu, dan dinding rumahnya terbuat dari bilik (anyaman bambu dengan anyaman sasag). Ada banyak aturan dalam membuat rumah di Kampung Naga, diantaranya: (1) rumah yang berada di Kampung Naga tidak boleh di cat, hanya boleh menggunakan kapur (dimeni) untuk memberikan warna pada dinding rumah; (2) bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok; (3) rumah harus menghadap ke utara atau ke selatan dengan memanjang kearah barat/timur. Selain aturan-aturan yang ada, masyarakat Kampung Naga mempercayai bahwa adanya kekuatan-kekuatan yang menguasai ruangan atau tempat tertentu. Diantaranya batas sungai, batas pekarangan rumah dengan jalan, batas antara sawah dengan selokan, batas perkampungan dengan hutan, dan batas tempat air mulai masuk yang sering disebut dengan huluweton. Kekuatan-kekuatan yang mendiami batas-batas tersebut berupa makhluk-makhluk halus dan dianggap angker atau sanget.

Mayoritas mata pencaharian warga Kampung Naga adalah bertani di sawah dan di ladang, mereka menanam padi, palawija, beternak ikan di kolam atau menangkap ikan di sungai. Mereka juga memanfaatkan sumber daya alam untuk membuat kerajinan tangan dari bahan bambu, kayu, dan rotan. Peralatan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga masih sederhana dan berasal dari alam. Seperti untuk memasak masih menggunakan tungku dengan kayu bakar, membajak sawah masih menggunakan tenaga kerbau dan cangkul. Selain tidak menggunakan teknologi yang berkembang di masyarakat, masyarakat Kampung Naga belum menerima adanya listrik karena masih mempertahankan adat leluhurnya.

Oleh karena itu, masyarakat Kampung Naga ketinggalan dalam hal-hal yang mendunia atau mengglobal. Termasuk dalam cara mengukur dan mrmbilang benda, mereka menggunakan istilah-istilah ukuran dan bilangan peninggalan nenek moyang mereka.


B.      KAJIAN PUSTAKA

1.        Definisi Etnomatematics

Borba (1997) menyebutkan ethnomatematics berasal dari kata “ethno” yang dipahami sebagai kelompok budaya (cultural groups) dan “mathematics” yang dianggap sebagai seperangkat aktivitas seperti mengukur, mengelompokkan, mengurutkan, menyimpulkan, dan memodelkan. Ethnomathematics Merupakan bidang interdispliner yang meliputi antropologi budaya matematika, pendidikan matematika dan kognisi matematika (Matang, 2006). Ethnomathematics merupakan irisan dari tiga himpunan disiplin ilmu: matematika, antropologi budaya dan pemodelan model matematika (Rosa & Orey, 2006).


Marsigit (2016) mengatakan bahwa etnomatematika adalah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami bagaimana matematika diadaptasi dari sebuah budaya dan berfungsi untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika. Pembelajaran etnomatika di sekolah dilakukan dengan mengubah persepsi siswa yang beranggapan matematika abstrak menjadi lebih konkret dan mudah dipahami. Objek kajian etnomatematika yang digunakan adalah kebudayaan di sekitar tempat tinggal peserta didik dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka ethnomathematics adalah ilmu yang mengadaptasi budaya masyarakat dalam pembelajaran matematika dengan tujuan untuk mempermudah proses pemahaman oleh siswa karena mengubah persepsi yang abstrak terhadap matematika menjadi lebih konkret.

 

 

 

1.        Pembelajaran Berbasis Budaya (Etnomatematics)

Pembelajaran ethnomathematics sangat dipengaruhi oleh teori konstruktivisme, pengetahuan dikonstruksi secara sosial sehingga belajar merupakan tanggung jawab bersama antara guru dan siswa di kelas. Perspektif pembelajaran konstruktivis meliputi: 1) pembangunan pengetahuan individu, 2) pengaruh sosial terhadap konstruksi individu, 3) situasional dan persyaratan konstruksi pengetahuan konstektual dan 4) konstruksi sosial dari realitas (Chemark dan Van der Merwe dalam Matang, 2006). Rosa & Orey (2007) berpendapat bahwa kurikulum matematika harus didasarkan pada sebuah pendekatan konstruktivis untuk belajar dan berusaha untuk mengubah cara guru matematika membangun lingkungan belajar.

Pembelajaran ethnomathematics dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui budaya (Goldberg dalam Supriadi (2015). (1) Belajar tentang budaya, menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Proses belajar tentang budaya sudah dipelajari secara langsung oleh siswa melalui mata pelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni, sastra, melukis, serta menggambar. Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khususnya tentang budaya untuk budaya. Produk budaya yang berlaku dalam sebuah masyarakat dapat digunakan menjadi sebuah metode dalam pemecahan masalah matematika yang akan dilakukan oleh siswa dalam pembelajran matematika; (2) Belajar dengan budaya. Belajar dengan budaya bagi siswa meliputi pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya. Budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran atau konteks dalam proses belajar di kelas; (3) Belajar melalui budaya bagi siswa yaitu dengan memberikan kesempatan untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk multiple representation of learning assessment atau bentuk penilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Dengan menganalisis produk budaya yang diwujudkan siswa, guru dapat menilai sejauh mana produk budaya yang diwujudkan siswa, guru dapat menilai sejauhmana siswa memperoleh pemahaman dalam sebuah topik mata pelajaran matematika. Belajar melalui budaya memungkinkan siswa untuk memperhatikan kedalaman pemikirannya, penjiwaannya terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari (Sardjiyo & Pannen, 2005).

Marsigit (2018) mendeskripsikan bahwa etnomatematika hanyalah relevan untuk pembelajaran matematika dengan ranah Matematika Sekolah, dan mendeskripsikan temuan sbb:

a.    Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika Selaras Dengan Hakikat Matematika Sekolah

1)      Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan.

2)      Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi.

3)      Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving).

4)      Matematika sebagai alat berkomunikasi

b.    Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika Selaras dengan Hakikat Siswa Belajar Matematika

Ebbutt dan Straker (dalam Marsigit, 2018) memberikan pandangannya bahwa agar potensi siswa dapat dikembangkan secara optimal, maka asumsi dan implikasi berikut dapat dijadikan sebagai referensi :

1)      Murid akan belajar jika mendapat motivasi.

2)      Cara belajar siswa bersifat unik.

3)      Siswa belajar matematika melalui kerjasama.

4)      Murid memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam belajarnya.

 

C.      EKSPLORASI KEARIFAN LOKAL DAN MATEMATIKA DI KAMPUNG NAGA

1.        Membilang

Masyarakat Kampung Naga sering kali melakukan kegiatan membilang dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya pada saat pembuatan kerajinan tangan dari anyaman bambu, misalnya dari saat membilang banyaknya bilah bambu yang akan digunakan untuk membuat anyaman sampai pada proses membilang hasil kerajian tangan. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga adalah menggunakan bahasa Sunda, karena masih terletak di wilayah dataran Sunda. Pengucapan bilangan untuk menunjukkan jumlah barang yang digunakan masyarakat Kampung Naga seperti pada tabel 1 berikut.

 Tabel 1. Penyebutan Bilangan pada Masyarakat Kampung Naga

Simbol

Sebutan Bilangan oleh Masyarakat Kampung Naga

Sebutan Hindu-Arab

1

Hiji

Satu

2

Dua

Dua

3

Tilu

Tiga

4

Opat

Empat

5

Lima

Lima

6

Genep

Enam

7

Tujuh

Tujuh

8

Dalapan

Delapan

9

Salapan

Sembilan

10

Sapuluh

Sepuluh

11

Sabelas

Sebelas

12

Salosin/ dua belas

Dua belas

13

Tilu belas

Tiga belas

20

Sakodi/ dua puluh

Dua puluh

21

Salikur/ dua puluh hiji

Dua puluh satu

22

Dua likur/ dua puluh dua

Dua puluh dua

23

Tilu likur/ dua puluh tilu

Dua puluh tiga

24

Opat likur/ dua puluh opat

Dua puluh empat

25

Salawe

Dua puluh lima

26

Dua puluh genep

Dua puluh enam

30

Tilu puluh

Tiga puluh

40

opat puluh

Empat puluh

50

Lima puluh

Lima puluh

60

genep puluh

Enam puluh

100

Saratus

Seratus

Aktivitas membilang juga terlihat dalam penyebutan bilangan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga untuk menunjukkan jumlah:

a.         Menunjukkan jumlah ikan

1)      Sawidak         = 60

2)      Sagros            = 144

3)      Salaksa           = 10.000

4)      Salaketi          = 100.000

5)      Sayuta                        = 1.000.000

b.        Menunjukkan jumlah barang tertentu

1)        Saleunjeur     = Satu buah pohon bambu

2)        Sabebek        = Satu belahan bambu yang dibelah menjadi 2 bagian

3)        Sadapur         = Jumlah beberapa pohon bambu yang saling berdekatan

4)        Sacangi         = Satu cangkir padi

5)        Sacanggeum  = Banyaknya beras dalam satu kepalan tangan

6)        Sailab            = Satu lembar anyaman bilik (dinding rumah)

7)        Sakeclak        = Satu tetes air

8)        Sasikat          = Satu sisir buah pisang

9)        Saturuy         = Satu runtuyan pisang

10)    Sapapan        = Satu buah pete

11)    Sahanggor     = Beberpa buah pete dalam 1 runtuyan

12)    Saempong     = Beberapa hanggor buah pete

13)    Sapiring         = Satu piring nasi

14)    Saponggol     = Satu dahan daun pisang

15)    Sakompet      = Beberapa lembar daun pisang yang sudah disobek dari dahnnya kebudian dilipat menjadi satu ikatan.

16)    Sajalon          = Satu lembar anyaman daun aren yang diikat oleh helaian bambu untuk dijadikan atap. Biasanya digunakan untuk atap toilet oleh masyarakat Kampung Naga.

17)    Sagandu        = Satu buah gula merah

18)    Sakakab        = Satu lembar anyaman injuk dari pohon aren

19)    Sarempang    = Satu butir jahe

20)    Sahulu           = Satu buah kelapa

21)    Saluwuk Munding    = Dua ekor kerbau

22)    Sakotak                     = Satu petak sawah

23)    Salambar                   = Satu lembar

24)    Saranggeuy               = Satu tangkai padi

25)    Saheulay                   = Satu lembar tikar

26)    Sahurun                     = Satu ikat beberapa kayu

27)    Sahuntu                     = Garam padat kira-kira berukuran sebesar gigi

28)    Sarakit                       = 2 kerbau, biasanya digunakan untuk membajak sawah

Masyarakat Kampung Naga biasanya melakukan perhitungan hari dengan sangat hari dengan sangat cepat, misalnya untuk mennetukan hari ke-30, 40 harian, 100 harian, dan 1000 harian.  Misalnya, jika hari ini adalah hari Rabu kemudian akan ditentukan 40 hari kedepannya pada hari apa, maka masyarakat Kampung Naga akan dengan cepat menjawab 40 hari kedepannya jatuh pada hari Minggu. Cara perhitungan penentuan 40 harian menurut masyarakat Kampung Naga, sebagai berikut:

                        Rabu-rabu, Kamis, Jum’at

                        Sabtu-sabtu, Minggu, Senin

                        Selasa-selasa, Rabu, Kamis

                        Jum’at-jum’at, Sabtu, Minggu

Jadi, 40 hariannya jatuh pada hari Minggu.

Ternyata perhitungan cepat yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga sesuai dengan pendekatan model sebagai berikut:

Misalkan, dicari hari ke-a,  maka penentuan hari mingguan dapat menggunakan aturan modulo 7.

atau

b adalah sisa hasil bagi yang dipasangkan dengan masing-masing hari mingguan bisa dalam satu minggu, yaitu:

                        Hari pertama acuan     = 1;

                        Hari kedua acuan        = 2;

Hari ketiga acuan        = 3;

Hari keempat acuan    = 4;

Hari kelima acuan       = 5;

Hari keenam acuan      = 6;

Hari ketujuh acuan      = 0;

Dari kasus sebelumnya, jika hari ini adalah hari Rabu, maka 40 hariannya ditentukkan dengan menghitung  atau  sehingga . Karena hari Rabu sebagai hari pertaman acuan, maka  hari Minggu.


2.        Mengukur

Penngukuran yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada zaman dulu menggunakan alat-alat ukur yang tidak baku, seperti pengggunaan anggota badan misalnya tangan dan kaki. Selain itu, mereka juga memanfaatkan barang-barang yang ada di sekitar seperti tombak dan tali. Namun pada saat ini masyarakat Kampung Naga telah meggunakan alat ukur yang sudah baku dan berlaku di masyarakat hanya pada kegiatan komersil untuk bisnis jual beli. Dalam kegiatan non-komersil masyarakat Kampung Naga masih menggunakan alat ukurnya sendiri, misalnya pada saat menakar beras tidak menggunakan literan tapi menggunakan wadah yang berbentuk seperti mangkok dan terbuat dari tempurung kelapa. Ukurannya dipercaya oleh masyarakat kampung naga setara dengan takaran satu liter.

Gambar 2. Alat Ukur Beras Masyarakat di Kampung Naga

Kegiatan mengukur lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga bisa diamati pada saat melakukan pembangunan rumah, biasanya masyarakat Kampung Naga menggunakan meteran untuk mengukur berapa panjang dari papan, tiang, jendela, pintu, dan lain sebagainya. Namun sering kali mereka juga memanfaatkan anggota badan yang mereka miliki karena dianggap lebih sederhana dan praktis, misalnya penggunaan jeungkal dan deupa. Satu jeungkal yaitu jarak dari ujung ibu jari ke ujung jari kelingking atau dari ujung ibu jari sampai ke ujung jari tegah ketika direntangkan. Septianawati (2017) menyatakan bahwa ukuran satu jeungkal masyarakat kampung naga kuarmg lebih sama dengan 20 cm. Biasanya alat ukur dengan menggunakan anggota tubuh digunakan pada saat masyarakat Kampung Naga pergi ke kebun, sawah, atauoun hutan dan tidak membawa alat ukur meteran mereka akan menggunakannya untuk menentukan panjang yang mereka inginkan. Misalnya pada saat membutuhkan bambu yang berukuran 80 cm, maka mereka akan membuat ukuran sebesar 4 jeungkal dengan tangan mereka dan bambu yang telah diukur akan dijadikan sebagai patokan untuk menentukan panjang bambu lainnya.

Aktivitas mengukur juga terlihat dalam ukuran berat dan banyaknya padi, yaitu:

1)        Saranggeuy          = Satu tangkai padi

2)        Sapocong             = Ukuran padi yang masih ada tangakainya kira-kira satu kepalan tangan

3)        Sapikul                 = Ukuran padi yang sudah dibuang tangkainya kira-kira 62,5 kg (100 kati)

Selain aktivitas di atas, ada juga untuk mengukur panjang dan luas, yaitu:

1)        Satumbak             = 3,77 meter

2)        Sabata                  = 14 meter2

3)        Sapal                    = 1 kilometer

4)        Samil                    = 1,5 kilometer

5)        Saare                    = 100 meter2

6)        Sahektar               = 100 are

7)        Sabau                   = 500 bata

8)        Sakaki                  = 0,3 meter = 30 cm

9)        Saelo                    = 0,988 meter

10)    Sadim                   = Setapak ibu jari

11)    Sajeungkal            = Jarak paling panjang antara ujung jempol tangan dengan ujung kelingking tangan, yang panjangnya kurang lebih 20 cm

12)    Sahasta                 = Ukuran sepanjang lengan bawah dari siku sampai ke ujung jari tengah. Biasanya berkisar

13)    Sadeupa               = Ukuran sepanjang kedua belah tangan mengendap dari ujung jari tengah kanan sampai ke ujung jari tengah kiri. (4 hasta = 6 kaki). Depa digunakan dalam menyatakan ukuran keliling sebuah rumah di kampung naga atau sebuah kolam ikan.

14)    Sakodok               = Panjang dari ujung jari tengah sampai ketiak

15)    Sakodok               = Panjang dari ujung jari tengah sampai ke ketiak

16)    Sajeujeuh              = Panjang telapak kaki dari ujung-ujung jari kaki sampai ujung tumit.

3.        Merancang

Masyarakat Kampung Naga mampu membangun rumah untuk tempat tinggal mereka sendiri sesuai dengan rancangan yang telah ditetapkan oleh adatnya dan mampu membuat perkakas untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Bangunan yang dibuat tahan akan gempa bumi, dan hanya menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam.

Dalam kegiatan merancang bangunan menggunakan konsep matematis terutama dalam membilang dan mengukur. Masyarakat Kampung Naga memperoleh kemampuan merancang bangunan dari nenek moyang mereka. Sebelum mulai membangun rumah, mereka merancang dengan membuat sketsa dan menghitung ketepatan ukurannya. Dalam proses perancangan rumah, yang harus ditentukan adalah banyaknya tiang, kaso, dan lantai yang akan digunakan pada rumah tersebut. Misalnya dalam rumah yang berukuran , maka jumlah tiang yang dibutuhkan pada rumah tersebut adalah 14 buah. Bangunan rumah yang dibangun berbentuk panggung serta menggunakan batu papas yang ditanam untuk kakinya. Jumlah minimal batu papas yang diperlukan dalam membangun sebuah rumah adalah 25 buah dengan ukuran sekitar 50-70 cm.

Gambar 3. Rumah Adat Kampung Naga

4.        Aktivitas Bermain Tradisional

Dalam permainan tradisional yang sering dimainkan oleh anak-anak di Kampung Naga terdapat ide-ide matematis yang tidak disadari membantu mengembangkan pola pikir dalam permainannya. Jenis permainan yang dilakukan oleh anak-anak di Kampung naga, antara lain: gobag, gatrik, pecle, gampar, eser, kaleci, dan baren. Ide-ide matematis yang terdapat pada permainan-permainan tradisional, misalnya: membilang, mengelompokkan bilangan, melakukan pengukuran dengan menggunakan tangan, dan memikirkan strategi untuk memenangkan permainannya.

Pada zaman dulu, permainan sering dijadikan sebagai media pembelajaran untuk menyampaikan suatu materi pelajaran kepada anak-anak. Seharusnya permaian-permainan tradisional yang ada di Kampung Naga pada saat ini dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mengemas pembelajaran matematika yang diharapkan menjadi pelajaran yang menarik di mata siswa. Permainan tradisional yang ada di masyarakat Kampung Naga, diantaranya: gobag, pecle, ucing sumput, dan congklak.

A.      INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS BUDAYA DI KAMPUNG NAGA

No

Objek Etnomatematika

Hasil Identifikasi

1

Lokasi: Tangga menuju Kampung Naga

Gambar 1

a.   Objek etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran dua garis sejajar (Materi matematika SMP kelas VII)

b.    Kompetensi dasar:

3.10 Menganalisis hubungan antar sudut sebagai akibat dua garis sejajar yang dipotong oleh garis transversal

Perhatikan susunan batu pada Gambar 1.

“Jika dua buah anak tangga yang berdekatan merupakan dua buah garis (garis 𝑚 dan garis 𝑚), menurut kalian bagaimanakah kedudukan dua garis tersebut?”

Petunjuk:

Pilihlah anak tangga yang paling dekat dengan garis 𝑚, kemudian lukis garis 𝑚 pada anak tangga tersebut.

Tujuan:

Berdasarkan masalah tersebut, siswa akan menemukan bahwa kedudukan dua garis tersebut adalah dua garis sejajar. Hal ini dikarenakan garis 𝑚 dan garis 𝑚 merupakan dua garis yang terletak pada satu bidang datar dan tidak akan bertemu atau perpotongan jika garis tersebut diperpanjang sampai tak berhingga.

2

Bangunan Rumah Masyarakat Kampung Naga

Gambar 2

a.    Objek etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran segitiga (Materi matematika SMP kelas VII)

b.     Kompetensi dasar:

3.11 Mengaitkan rumus keliling dan luas untuk berbagai jenis segiempat (persegi, persegi panjang, belah-ketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang) dan segitiga

Segitiga pada Gambar 2 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi segitiga sama kaki.


Segitiga sama kaki adalah segitiga yang memiliki dua buah sisi sama panjang.

Sifat segitiga sama kaki:

1) Memiliki sepasang sisi sama panjang.

2) Memiliki sepasang sudut yang sama besar.

3) Memiliki satu sumbu simetri

3

Anyaman Dinding Rumah Masyarakat Kampung Naga

Gambar 3

a.    Objek etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran persegi (Materi matematika SMP kelas VII)

b.     Kompetensi dasar:

3.11 Mengaitkan rumus keliling dan luas untuk berbagai jenis segiempat (persegi, persegi panjang, belah-ketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang) dan segitiga

Persegi pada Gambar 3 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi segiempat: persegi.



 

 

 

 


4

Alat Ukur Beras Masyarakat Kampung Naga



Gambar 4

a.    Objek etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran bangun ruang sisi lengkung: bola =>  bola (Materi matematika SMP kelas IX)

b.     Kompetensi dasar:

3.7 Membuat generalisasi luas permukaan dan volume bangun ruang sisi lengkung (tabung, kerucut, dan bola)

 bola pada Gambar 4 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi bola pada bangun ruang sisi lengkung.

5

Permainan Tradisional Masyarakat Kampung Naga

Gambar 5 Gobag

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 6 Pecle

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

Gamabr 7 Ucing Sumput

 

 

 

 

 

 



Gambar 8 Congklak

a.    Objek etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran persegi panjang (Materi matematika SMP kelas VII)

b.     Kompetensi dasar:

3.11 Mengaitkan rumus keliling dan luas untuk berbagai jenis segiempat (persegi, persegi panjang, belah-ketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang) dan segitiga

Persegi panjang pada Gambar 5 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi segiempat: persegi panjang.


 


a.    Objek etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran persegi panjang (Materi matematika SMP kelas VII) dan lingkaran (Materi matematika SMP kelas VIII)

b.     Kompetensi dasar:

3.11 Mengaitkan rumus keliling dan luas untuk berbagai jenis segiempat (persegi, persegi panjang, belah-ketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang) dan segitiga

3.7  Menurunkan rumus untuk menentukan rumus keliling dan luas lingkaran yang dihubungkan dengan masalah kotekstual

Persegi panjang pada Gambar 6 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi segiempat: persegi panjang.


Setengah lingkaran pada Gambar 6 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi lingkaran.



 

a. Objek etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran Bilangan Bulat (Materi matematika SMP kelas VII)

b.     Kompetensi dasar:

3.1 Menjelaskan dan menentukan urutan pada bilangan bulat (positif dan negatif) dan pecahan (biasa, campuran, desimal, persen)

Perhitungan dalam permainan ucing sumput pada Gambar 7 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi bilangan bulat. Anak yang bertugas sebagai penjaga harus menghitung dari 1 sampai bilangan yang telah disepakati untuk memberikan jeda waktu bersembunyi kepada temannya

1 - 2 - 3 - 4 - 5 - 6 - 7 - 8 - 9 - ...

 

a. Objek etnomatematika: dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran Bilangan Bulat (Materi matematika SMP kelas VII)

b.     Kompetensi dasar:

3.2 Menjelaskan dan melakukan operasi hitung bilangan bulat dan pecahan dengan memanfaatkan berbagai sifat operasi

 

Permainan congklak pada Gambar 8 dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika materi bilangan bulat. Anak yang yang melakukan permainan ini secara tidak sadar telah belajar konsep pembagian.


DAFTAR PUSTAKA

Akib, R. (2016). “Matematika dan Nilai-nilai Kearifan Lokal (Suatu Alternatif Pendidikan Karakter melalui Matematika dan Nilai-nilai Kearifan Lokal Budaya Bugis – Makassar)”.

Borba, M.C. (1997). Ethnomathematics and Education. Dalam A.B. Powell & M. Frankenstein (Penyunting), Ethnomathematics Challenging Eurocentrism in Mathematics Education (hlm. 261-272). Albany: State University of New York.

Kurumeh. (2004). Effects of ethnomathematics teaching approach on students achievement and interest in geometry and mensuration. Unpublished Ph.D Thesis. University of Nigeria, Nsukka.

Matang, R. A. (2006). Linking ethnomathematics, situated cognition, social constructivisme and mathematics education: An example from Papua New Guinea. ICME-3 Conference Paper, New Zealand.

Marsigit. (2016). Pengembangan Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Budaya 2016, dengan Tema: Etnomatematika, Matematika dalam Perspektif Sosial dan Budaya. Sumatra Barat. Indonesia.

Marsigit. (2018). Pengembangan Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika Etnomatnesia “Etnomatematika dari Budaya Indonesia” Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Yogyakarta, Indonesia.

Rosa, M., & Orey, D. C. (2006). Abordagens atuais do parogram aetnomatemática: delinenandose um caminho para aação pedagógica [current approaches in the ethnomathematics as a program: delineating a path toward pedagogical action]. Bolema, 19(26), pp. 19-48.

Rosa, M., & Orey, D. C. (2007). Cultural assertions and challenges towards pedagogical action of an ethnomathematics program. For the Learning of Mathematics, 27(1), pp. 10-16.

Sardjiyo & Pannen. (2005). Pembelajaran berbasis budaya: model inovasi pembelajaran dan implementasi KBK. Jurnal Pendidikan.

Septianawati, T. (2017). Ethnomathematics Study: Uncovering Units of Length, Area, and Volume in Kampung Naga Society. Journal of Physics: Conference Series, 812(1), 1-7.

Septianawati, T. dkk. (2019). Kajian Etnomatematika: Mengungkap Kearifan Lokal Budaya dan Matematika Kampung Naga. Jurnal Pendidikan Matematika (METATIKA): Vol 1(1): 63-79.

Supriadi, Arisetyawan, A., dan Tiurlina. (2015). Mengintegrasikan Pembelajaran Matematika Berbasis Budaya Banten Pada Pendirian SD Laboratorium UPI Kampus Serang. Mimbar Sekolah Dasar, Vol 3(1) 2016, 1-18.

Zaenuri dan Dwiyanti, N. (2018). Menggali Etnomatematika: Matematika sebagai Produk Budaya. Prisma, 1, 471-476. UPI: Tidak Diterbitkan.

 


No comments:

Post a Comment